Panjebar Semangat

Setiap tanggal 20 Mei, kita memperingati Hari kebangkitan Nasional (Harkitnas). Peringatan Harkitnas tahun ini agak istimewa karena tanggal 20 Mei 2008 lalu adalah tepat seratus tahun lahirnya Budi Utomo, organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo.
Salah satu stasiun televisi swasta menayangkan liputan mengenai majalah Panjebar Semangat, sebuah majalah berbahasa Jawa.
Apa hubungan Panjebar Semangat dan Harkitnas?
Nah, rupanya majalah ini didirikan oleh Dr. Sutomo, pendiri Budi Utomo.
Saya cukup mengenal majalah ini. Seingat saya, sejak saya belajar membaca, majalah ini sudah ada di rumah. Ayah saya mulai berlangganan sejak pertengahan 70-an. Nenek saya pun dulu pembaca setia Panjebar Semangat. Majalah ini amat membantu saya belajar bahasa Jawa, terlebih karena saya dibesarkan di lingkungan yang tidak berbahasa Jawa. Awalnya agak sulit mencerna isinya. Apalagi saat saya masih belajar membaca. Selain harus mengartikan maknanya, saya juga harus memahami cara membacanya. Misalnya: tulisan "ana", dibaca "ono".
Sekarang, setiap Selasa, majalah ini tiba di rumah, diantar oleh pak pos. Harganya tidak mahal. Isinya? Lumayan. Rubrik yang selalu saya baca pertama kali adalah "Apa Tumon" mungkin kira-kira artinya "Ada-Ada Saja" (mohon maaf jika salah, hehe, ini terjemahan bebas). Isinya kisah-kisah lucu kiriman pembaca. Ada tiga cerita yang dimuat setiap terbitnya.



Rubrik lain yang saya suka adalah "Alaming Lelembut", isinya cerita-cerita hantu; "Kok Rena-Rena", cerita-cerita aneh. Kadang-kadang juga ada cerpen terjemahan dari penulis asing. Saya lupa contohnya. Nanti saya ingat-ingat dulu. Ada juga rubrik tentang tanya-jawab seputar agama, yang bagus isinya. Apa cuma itu isinya? Tentu tidak. Sebagai majalah berbahasa Jawa, banyak juga tulisan tentang budaya Jawa. Dulu ada tulisan bersambung mengenai cara menulis dan membaca tulisan Jawa, hanacaraka (baca: honocoroko). Di halaman paling belakang secara bergantian pernah dimuat gambar tokoh-tokoh dalam pewayangan. Semasa saya kecil, ibu saya pernah mengumpulkan gambar motif-motif batik. Dari situ saya mengenal istilah kawung dan parang.
Ada pengalaman lucu soal berlangganan majalah ini. Karena kami tinggal berpindah-pindah kota, ada masa di mana ayah saya lupa mengirim pemberitahuan pindah alamat. Ada juga masa di mana ayah terlambat membayar uang berlangganan. Meski demikian, majalah ini tak pernah terlambat hadir di rumah. Soal alamat, untungnya ayah dulu bekerja di perusahaan pos sehingga alamat baru mudah dilacak Soal keterlambatan membayar, mungkin orang-orang di Panjebar Semangat cukup berbaik hati mempercayai ayah sehingga majalah tetap dikirim meski uang langganan belum diterima.
Jadi, intinya, saya suka majalah Panjebar Semangat. Kelak, saya akan meneruskan berlangganan jika ayah sudah tak berminat (tapi, apakah mungkin tak berminat?).


Comments

Anonymous said…
bisa minta tolong kasih tahu caranya berlangganan PS.saya tinggal di jawa barat.thanks...

nb:blognya baguss lho...

Popular Posts